Perkebunan Kelapa Sawit Ramah Lingkungan Mungkinkah??

Sebagai anggota komunitas masyarakat dan dunia, suatu lembaga bisnis sepatutnya peka terhadap setiap isu yang sedang berkembang. Sebagaimana kita ketahui bahwa sampai saat ini, keberadaan perkebunan kelapa sawit masih banyak disorot. Banyak yang beranggapan bahwa perkebunan kelapa sawit berseberangan dengan usaha pelestarian lingkungan, terutama hutan dan keragaman hayatinya. Kerusakan hutan beserta segala ekses buruknya diidentikkan dengan pembukaan lahan untuk kelapa sawit.

Degradasi lahan dan pencemaran lingkungan sebagai dampak sistem pertanian intensif akibat penggunaan bahan-bahan kimia sebagai faktor produksi yang cenderung berlebihan semakin disorot oleh masyarakat dunia. Bahkan kini mulai ada usaha kampanye pemboikotan bagi hasil produksi pertanian (dan hutan) yang tidak “ramah lingkungan”.

Trend pertanian organik juga sedang mewabah sekarang ini. Produk organik diberi nilai lebih oleh konsumen, tentu saja dengan harga yang lebih tinggi dan lebih mudah diterima masyarakat internasional. Sawit Premium merupakan produk dari sistem perkebunan Kelapa Sawit organik yang belum banyak disorot, namun penulis yakin bahwa trend tersebut di atas akan bergulir ke produk perkebunan termasuk minyak kelapa sawit beserta produk-produk turunannya. Saat ini Indonesia sudah berhasil mengekspor “kopi organik” dan diterima dengan baik pasar internasional.

Satu peluang bagi kita bahwa belum banyak perkebunan kelapa sawit yang membudidayakan secara organik, meskipun sebenarnya mungkin mereka sudah mulai berpikir, meneliti atau bahkan sudah mengembangkannya meskipun belum terekspos secara luas. Untuk itu, sudah saatnya kita bergerak ke arah pembangunan perkebunan kelapa sawit organik yang dengan tujuan menghasilkan produk kelapa sawit premium. Akan tetapi karena kelapa sawit merupakan tumbuhan yang rakus hara, untuk menghasilkan Sawit Premium memerlukan penelitian yang tersendiri dan tidak gampang serta perlu tahapan-tahapan atau sub-sub penelitian.

Penggunaan pupuk dan bahan kimia sebagai faktor produksi sebaiknya mulai dikurangi untuk kemudian digantikan oleh pupuk organik, pupuk hayati, dan pestisida nabati. Pupuk organik dapat berupa kompos (alam atau buatan), pupuk kandang, atau pupuk hijau. Pupuk hayati merupakan kultur mikroorganisme yang sudah teruji mempunyai peran istimewa dalam meningkatkan kesuburan tanah dan/atau tanaman.

Pembuatan kompos janjangan kosong yang mempunyai nilai strategis dan ekonomis serta erat kaitannya dengan kebijakan “Nir limbah Pabrik Kelapa Sawit”. Akan tetapi usaha ini hanya merupakan bagian dari rangkaian panjang “kerja berat” untuk membangun suatu perkebunan kelapa sawit ramah lingkungan…lebih-lebih perkebunan organik.

Perkebunan Kelapa Sawit Organik sepertinya memang tidak mungkin dibangun, mengingat kebutuhan nutrisi komoditi ini yang cukup besar. Anggaplah keperluan tanaman TBM yang berumur 3 tahun/tahun dipukul rata sebagai berikut : NPK = 3.0 kg ? N = 360 g, P = 360 g, K = 510 g, Mg = 60 g RP = 200 g ? P = 54 g MOP = 3 kg ? K = 1650 g

Kalau kita ingin organik, berarti minimal 75% unsur-unsur tersebut harus dipasok oleh pupuk non kimia. Dari standar di atas, berarti pupuk organik yang kita berikan harus mampu memasok unsur N = 270 g/th ; P = 310 g ; K = 1620 g ; 45 g. Untuk itu kita harus terlebih dulu tahu kandungan unsur hara pupuk organik (kompos, pupuk kandang, atau pupuk hasil tambang).

Merujuk hasil analisis Siregar (2002), kandungan nutrisi kompos janjangan kosong adalah sebagai berikut : N = 2.7 % ; P = 0.4 % ; K = 2.0 % ; Mg = 1.1%. Dengan menggunakan unsur N sebagai patokan berarti kita memerlukan kompos sebanyak 10 kg/th. Itu berarti P yang disediakan oleh kompos hanya 40 g, K hanya 200 g, dan Mg = 110 g. P dapat dipasok dengan pupuk RP atau pupuk Guano yang kadar P-nya tinggi, jadi tidak masalah. Sedangkan untuk unsur Kalium masih kurang 1420 g. Nah pupuk K ini dapat disuplai dengan pupuk hasil tambang (meskipun an organik namun bukan produksi pabrik, jadi seperti halnya dengan Rock Phospat), yang sekarang sudah diproduksi dengan kadar K2O = 22% dan Mg 11% diperlukan tambahan sebanyak kurang lebih 6.5 kg.

Angka-angka di atas hanya merupakan perhitungan kasar, yang belum memperhitungkan kelarutan dan efektifitas setiap jenis pupuk yang berbeda. Dengan kata lain, jumlah pupuk yang diperlukan untuk mencapai efektifitas setara dengan MOP pada sistem konvensional bisa jadi tidak sebesar hasil perhitungan di atas.

Pupuk kompos sebanyak 10 kg dapat dibagi menjadi 2 atau 3 kali aplikasi, jadi masing-masing 3 – 5 kg/aplikasi. Angka tersebut memang terkesan besar dan secara teknis lebih sulit dibandingkan pupuk kimia yang lebih ringkas. Akan tetapi hal tersebut dapat diatasi dengan pemrosesan kompos lebih lanjut dengan cara pengepresan atau pembuatan pelet (ditambah pupuk kandang), atau bahkan ekstraksi sehingga volumenya menjadi susut sehingga lebih memudahkan aplikasi di kebun.

Suplai unsur hara tidak hanya dari pupuk organik saja, namun kita dapat memperolehnya dari LCC yang efektif menambat nitrogen dari udara misalnya. Kemudian efektifitas penyerapan unsur P dan K dapat ditingkatkan melalui pemanfaatan mikro-organisme tertentu, dan masih banyak yang harus kita kaji : faktor-faktor apa saja (asal ramah lingkungan) yang dapat kita masukkan, dan sedapat mungkin menggunakan sumber daya lokal. Mungkin saja alang-alang dapat kita jadikan sebagai bahan untuk pupuk.

Selain itu berdasar informasi dari Ir. H Latief M Rachman., MBA., M.Sc., Ph.D (Staf Ahli Lingkungan), dengan memanfaatkan teknologi tertentu pupuk organik dapat diset jenis dan kandungan unsur haranya, sehingga mempermudah penyusunan program dan aplikasi pemupukan. Selain itu ada beberapa pihak yang menawarkan semacam wara laba industri pupuk organik dengan persyaratan tertentu (perlu dikaji secara mendalam lintas divisi).

Uraian di atas memberikan gambaran bahwa membangun “Organic Plantation” bukanlah hal yang mustahil, meskipun itu semua masih memerlukan penelitian dan kajian lebih lanjut. Bukan hanya kajian ilmiah mengenai pupuk dan tanaman saja, namun juga ketersediaan bahan baku, teknologi pembuatan, hitung-hitungan ekonominya, dan masih banyak lagi yang perlu kita pikirkan bersama.

Selain itu tingkat produksi bukan parameter tunggal untuk menilai keberhasilan suatu sistem pengelolaan. Mutu atau kualitas produk sebaiknya juga dijadikan tolok ukur, misalnya kandungan asam lemak bebas, b karoten, dan juga asam laurat, dll dari minyak yang dihasilkan.

Terkait dengan Sustainable Oil Palm Plantation yang di dalamnya dapat dimasukkan Perkebunan Kelapa Sawit Organik, sekarang sudah muncul suatu konsep mengenai kerangka kerja Perkebunan Kelapa sawit sebagai sistem pertanian yang presisi (A Conceptual Framework for Precision Agriculture in Oil Palm Plantations). Kerangka kerja ini lebih menekankan pada managemen kebun yang didasarkan pada kelengkapan dan pengelolaan serta pemanfaatan data secara rinci dan didasarkan pada asas field by field, atau bahkan palm by palm (produktifitas, sifat-sifat tanah, status keharaan daun, dll), untuk kurun waktu tertentu dan blok-blok tertentu sebagai sampel dan dijadikan pedoman bagi manager untuk mengelola kebun secara keseluruhan. Perlu digaris bawahi bahwa alokasi faktor-faktor produksi (pupuk, obat-obatan, dan input lainnya yang diperlukan) diberikan dalam jumlah dan jenis yang disesuaikan keadaan setiap satuan lahan (blok, divisi, atau kebun), dan bahkan tiap tanaman. Specific loca management (Fairhurst et al, 2002 and consulting with Ilham, 2004).

Dalam sistem pertanian (perkebunan) yang presisi, kelengkapan dan penguasaan teknologi informasi sangat penting dan sering menjadi hambatan, apalagi untuk diterapkan di perkebunan baru yang biasanya “terpencil”. Selain itu recording data yang teratur, disiplin, dan detil sangat diperlukan. Sebagai bahan renungan PT London Sumatra (Lonsum) sudah merintisnya selama puluhan tahun (Rosenquist et al., 1975 cit. Fairhurst et al, 2002) dengan menyusun data-data agronomi pada ‘clip card’.

Perkebunan organik belum tentu presisi dan begitu juga sebaliknya, meskipun perkebunan yang presisi akan cenderung lebih ramah lingkungan karena bersifat spesific loca. Idealnya kita berusaha membangun perkebunan (paling tidak kebun percontohan) organik yang presisi.

Pada bulan Oktober 2004, Indonesia menjadi tuan rumah Forum Rembug Kelapa Sawit Internasional (Roundtable on Sustainable Palm Oil) ke-2 setelah yang pertama diselenggarakan di Kuala Lumpur 22 Agustus 2003 yang lalu. Forum ini merupakan kesempatan baik bagi kita untuk menangkap dan menterjemahkan kemauan stake holders bagi pengembangan perkebunan kelapa sawit ke depan menuju perkebunan yang bertaraf dan diakui Internasional.



Teknologi sudah memungkinkan, sumber daya manusia dapat dikembangkan, landasan moral dan market demand sudah klop, Tunggu apa lagi ?!tanamansawit.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar