Jika pernah ke Mamuju Utara (Matra) Sulawesi Barat, anda pasti mendengar tentang daerah transmigrasi, Baras namanya, yang arti kata merurut penduduk setempat adalah ‘baru tahu rasa!’ (Baras).
Terang saja, ketika mulai masuk daerah ini, tidak ada pilihan lain untuk pandangan mata saya, selain rimbunan pepohonan kelapa sawit . Deretan tanaman yang katanya berasal dari Afrika Selatan ini jelas mengahalangi sinar matahari, sehingga membuat suasana menjadi gelap. Persisnya waktu itu saya berada di tengah belantara kelapa sawit.
Belum lagi, ratusan kilometer jalan yang membelah perkebunan gelap tersebut, sunyi, licin, tanjakan, dan berlubang. Bahkan, mobil teman rombongan saya pun jadi korban keganasannya , sempat berkali-kali harus didorong karena terjebak lubang jalanan yang licin. Kami pun Baras “baru tahu rasa!”.
Yang pasti, jalan yang dibangun atas swadaya warga transmigran tersebut, tidak ada cirri khusus yang menjadi pembeda antara rute yang satu dengan lainnya, semua tampak sama!. Maka, Jika tidak ada penunjuk jalan ke sana, saya sarankan jangan pernah mencobanya.
Kebetulan saya bersama rombongan menghadiri Hari Raya Saraswati oleh pemeluk Hindu-Dharma setempat. Yang membuat saya kagum adalah ketika saya memasuki perkampungan warga.
Dari kaca mobil yang saya tumpangi, jelas terlihat deretan perumahan warga dengan beragam bentuk budaya Nusantara. Ada yang bercirikan bangunan khas-Bali, Jawa, dan Bugis, serta Mandar, meski dominasi nuansa yang sempat saya lihat adalah Bali, namun semuanya terlihat begitu harmoni. Tidak nampak aroma arogansi mayoritas, yang ada adalah kebersamaan, kerukunan.
Bangunan Kerukunan
Yang membuat saya lebih terharu adalah ketika saya menyaksikan bangunan tempat ibadah yang saling berdekatan. Lokasi antara Pure, Gereja, dan Masjid tidak terlalu jauh, bahkan berdampingan, dan berhadapan. Seakan bangunan-bangunan tempat ibadah tersebut ingin bilang kepada saya, atau mungkin kepada anda yang berkunjung ke Baras-Matra, “bahwa mekipun kami berbeda, tapi kami sangat dekat,”.
Hal yang berbanding lurus ketika saya sampai di tempat acara perayaan Hari Raya Saraswati. Ratusan ummat Hindu-Dharma berbondong-bondong berdatangan, berdoa, dan sebagian yang lain sibuk mempersiapkan, membawa sesaji sebagai kelengkapan perayaan.
Lagi-lagi saya terharu, ketika saya melihat diantara mereka ada pemeluk agama lain, tokoh agama lain setempat datang menghadiri acara perayaan tersebut. Mereka datang untuk memberi ucapan selamat. Sungguh penghormatan yang mungkin dianggap sepele (hanya member i ucapan selamat) oleh sebagian orang, tapi tidak untuk bangunan kerukunan beragama, ditengah pluralitas bangsa.
Coba lihat akhir-akhir ini, kita menyaksikan guncangnya kerukunan beragama di Indonesia yang menjadi problem bangsa kekinian. Sebut saja, kasus Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Bekasi, yang menimbulkan luka pada bangunan kerukunan beragama di Indonesia.
Entah mengapa, sekelompok orang yang mengatasnamakan agama, suku budaya, dan identitas-identitas keduniawian lain tega menyerang, menyakiti, bahkan membunuh orang lain. Seakan, agama yang berbeda, suku budaya yang berlainan merupakan ancaman dan harus dihancurkan.
Sungguh sangat ironis, bangsa yang terkenal ramah, tiba-tiba berubah menjadi bangsa yang pemarah. Padahal kita tahu, bahwa perbedaan adalah realitas, keberagaman adalah fakta tak terbantahkan, atau bahkan itu adalah takdir Tuhan.
Ya, fakta keberagaman yang mungkin masih sering kita pertanyakan dalam diri, dalam kehidupan bermasyarakat. Ataukah mungkin kita masih mempertanyakan ulang tentang kalimat klasik Majapahit “Bhineka Tunggal Ika”, yang dijadikan para Founding Father sebagai filosofi Negara kita?
Namun, pertanyaan itu sudah terjawab tuntas di Ujung Sulawesi Barat, Baras-Matra. Seharusnya kerukunan beragama di sana dilihat dan dicontoh oleh mereka yang katanya sering mendeklarasikan diri sebagai masyarakat kota, orang modern .
Transmigran
Mengharukan bagaimana mereka yang disebut sebagai masyarakat transmigran yang kerap dianggap orang-orang kampung yang secara ekonomi dan pengetahuan sangat minim, sehingga harus keluar kampungnya untuk mencari nafkah itu justru tampil sebagai pemeran utama dalam bangunan kerukunan beragama. Mereka tentu berasal dari kampung, yang mungkin susah untuk menyerap kata “Pluralisme”. Tapi mereka telah menunjukkan.
Hidup rukun berdampingan dengan pemeluk agama lain, hidup bersama dengan budaya, suku bangsa yang berbeda, dan ditempat lokasi yang jauh dari sejarah hidup mereka. Sungguh butuh kearifan yang luar biasa, dan penyikapan terhadap perbedaan dan keberagaman yang sangat cerdas!.
Di Baras-Matra kita kembali diingatkan betapa toleransi antar sesama yang lebih menonjolkan sisi kemanusiaan, bukan sekat-sekat keduniawian, merupakan kunci utama kerukunan beragama yang akhir-khir ini menjadi sangat mahal harganya.
Mungkin pula arwah Alm. Gus Dur sebagai Bapak Pluralisme akan tersenyum bangga melihat anak negeri ini hidup rukun berdampingan atas dasar kemanusiaan seperti yang terjadi di Baras-Matra. Semoga…sources:Ulya Sunani,kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar